Pulau
Penyengat atau lengkapnya bernama Pulau Penyengat Indera Sakti, adalah
pulau kecil di kota Tanjung Pinang, Ibukota provinsi Kepulauan Riau
(KEPRI). Pulau kecil dengan luas sekitar 240 hektar atau 3,5 kilometer
persegi namun menyimpan begitu banyak warisan sejarah kebesaran Riau di
masa lalu, sejarah sebuah kesultanan Islam yang begitu berpengaruh.
Sebut saja penyair Raja Ali Haji yang terkenal dengan karyanya yang
begitu melegenda Gurindam Dua Belas, adalah salah satu Pahlawan Nasional
Indonesia dan dinobatkan sebagia Bapak bahasa melayu Indonesia, berasal
dari Pulau kecil ini. Bila berkesempatan berkunjung ke Pulau ini anda
dapat menikmati bait bait Syair Gurindam Dua Belas yang terpatri rapi
di tembok dalam komplek pemakaman Engku Putri, tempat dimana Makam Raja
Ali Haji berada. Masjid Sultan Riau atau lebih dikenal dengan sebutan
Masjid Pulau Penyengat merupakan bangunan dari masa kegemilangan
kesultan Riau di Pulau Penyengat yang masih terawat baik dari masa itu
hingga hari ini. Masjid yang kadang juga disebut sebagai masjid putih
telur itu berada di posisi yang begitu mecolok mata dengan warna kuning
menyala, dapat dipandang dengan mata telanjang dari pantai kota Tanjung
Pinang, seakan menyambut dengan ramah semua orang yang berkunjung ke
Pulau Penyengat. Keberadaan masjid ini menjadi Ikon sejarah yang begitu
penting bagi Pulau Penyengat dan provinsi Kepulauan Riau.
Lokasi Masjid Sultan Riau, Pulau Penyengat
Masjid Sultan Riau berada dalam kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat dapat dicapai beberapa menit menggunakan perahu motor atau dalam bahasa setempat disebut Pompong atau pancung, dari dermaga Sri Bintan Indrapura kota Tanjung Pinang. Jangan lupa untuk masuk ke dermaga lokal bukan dermaga antar bangsa. Karena dermaga kota Tanjung Pinang selain melayani rute lokal, antar pulau antar provinsi, juga melayani perjalanan laut internasional.
Masjid Sultan Riau berada dalam kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat dapat dicapai beberapa menit menggunakan perahu motor atau dalam bahasa setempat disebut Pompong atau pancung, dari dermaga Sri Bintan Indrapura kota Tanjung Pinang. Jangan lupa untuk masuk ke dermaga lokal bukan dermaga antar bangsa. Karena dermaga kota Tanjung Pinang selain melayani rute lokal, antar pulau antar provinsi, juga melayani perjalanan laut internasional.
Masjid Putih Telur
Masjid yang disebut sebut sebagai masjid putih telur ini, pada proses pembangunannya
memang banyak menggunakan putih telur untuk campuran material kapur, pasir dan tanah liat yang dipakai untuk membangun masjid ini. Hal tersebut terjadi karena begitu melimpahnya pasokan telur dari masyarakat secara suka rela bagi keperluan para pekerja pembangunan masjid ini hingga telur telur yang tak habis untuk di konsumsi kemudian oleh para pekerja waktu digunakan sebagai pencampur material dengan harapan agar masjid ini lebih kokoh dan tahan lama.
memang banyak menggunakan putih telur untuk campuran material kapur, pasir dan tanah liat yang dipakai untuk membangun masjid ini. Hal tersebut terjadi karena begitu melimpahnya pasokan telur dari masyarakat secara suka rela bagi keperluan para pekerja pembangunan masjid ini hingga telur telur yang tak habis untuk di konsumsi kemudian oleh para pekerja waktu digunakan sebagai pencampur material dengan harapan agar masjid ini lebih kokoh dan tahan lama.
Mahar Sultan Mahmudsyah Untuk Engku Putri
Pulau
Penyengat merupakan Mahar (emas Kawin) dari Raja Mahmudsyah untuk
Istrinya, Engku Putri atau Raja Hamidah di tahun 1805. Engku Putri atau
Raja Hamidah adalah putri dari Raja Haji Fisabilillah Yang dipertuan
muda Riau ke-4. Di tahun yang sama dimulai pembangunan masjid kecil dari
kayu di lokasi yang sama. Penerus Sultan Mahmudsyah yang kemudian
membangun masjid ini hingga berwujud seperti yang sekarang kita lihat.
Sejarah
mencatat bahwa perkawinan Raja Mahmudsyah dengan Engku Putri ini
menjadi peristiwa yang penting terkait dengan Kesultan Riau Johor,
karena Engku Putri di beri amanat untuk memegang lambang lambang
kebesaran kesultanan atau Regelia yang menjadi syarat syah nya penobatan
seorang Sultan menurut tradisi setempat. Itu sebabnya di jaman
kekuasaan Belanda, pemerintah kolonial Belanda berusaha sekuat tenaha
untuk merampas lambang lambang tersebut dari tangan Engku Putri. Namun
Engku Putri teguh memegang amanah hingga ahir hayatnya
Renovasi dan perluasan
Pembangunan
masjid secara besar-besaran dilakukan ketika Abdurahman Muazham Shah
berkuasa di Riau dengan gelar Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga
(1832-1844) menggantikan Raja Ja'far. Tak lama setelah memegang jabatan
itu, pada 1 Syawal tahun 1284 H (1832 M), setelah usai shalat Idul
Fitri, beliau menyeru masyarakat untuk bergotong royong membangun
masjid. Dalam gotong royong itulah, masyarakat membawa berbagai
perbekalan. Termasuk telur. Karena berlimpah, banyak putih telur yang
tidak habis dimakan. Dan oleh pekerja, putih telur itu dijadikan
campuran adukan.
Sejak
dibangun tahun 1832 dengan bangunan beton seperti yang kita lihat
sekarang ini. Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat, tidak pernah di
renovasi atau di ubah bentuknya. Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat ini
sudah dijadikan situs cagar budaya oleh pemerintah Republik Indonesia.
Al-Qur’an Tulisan Tangan Koleksi Masjid Sultan Riau
Ada
Alquran tulis tangan lain yang ada di masjid, yaitu Alqur`an tulisan
tangan Abdullah Al Bugisi tahun 1752. Namun, tak diperlihatkan kepada
umum karena sudah terlalu tua dan rapuh serta rentan akan kerusakan.
Uniknya, di bingkai mushaf Alqur’an ini terdapat tafsiran-tafsiran dari
ayat-ayat Alquran. Bahkan, terdapat berbagai terjemahan dalam bahasa
Melayu, kata per kata di atas tulisan ayat-ayat tersebut. Mushaf ini
tersimpan bersama 300-an kitab termasuk kitab kitab kuning, dalam dua
lemari di sayap kanan depan masjid.
Alqur`an
tulisan tangan Abdurrahman Stambul masih bisa dilihat didalam Masjid
yang dipajang didalam lemari kaca persis didepan pintu masuk, sedangkan
karya Abdullah Al Bugisi tidak bisa dilihat lagi dan disimpan karena
sudah rusak dan rapuh.
Arsitektur Masjid Sultan Riau, Pulau Penyengat
Ada
13 kubah berbentuk bawang di masjid ini yang susunannya bervariasi.
Ditopang oleh empat pilat beton dibagian tengah. Ditambah dengan empat
menara disetiap penjuru yang masing-masing memiliki ketinggian sekitar
19 meter, dulunya menara ini digunakan sebagai tempat muazin
mengumandangkan azan, sebelum kemudian digantikan dengan pengeras suara
yang dipasang di ke empat menara tersebut.
Masjid
ini juga memiliki 17 bubung. Angka 17 ini diartikan sebagai jumlah
rakaat shalat. Masjid ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan
Riau-Lingga yang masih ada. Berukuran sekitar 54 x 32 meter. Ukuran
bangunan induknya sekitar 29,3 x 19,5 meter. Disekitar masjid juga
terdapat pemakaman muslim.
Keindahan
arsitektur masjid sangat unik. Masjid ini bergaya India karena memang
tukang-tukang yang membangun bangunan utamanya adalah orang-orang India
yang didatangkan dari Singapura. Di halaman mesjid, terdapat dua buah
rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat musyawarah.
Selain itu terdapat juga dua balai, tempat orang biasanya menghidangkan
makanan ketika kenduri dan untuk berbuka puasa yang disediakan pengurus
mesjid setiap hari.
Saat
pertama kali dibangun, Masjid Sultan Riau berwarna putih, saat ini
sudah dicat dengan warna kebesaran Melayu, warna kuning dipadukan dengan
warna hijau sebagi warna kebesaran umat Islam. Ruangan Masjid Sultan
Riau bisa dibagi lima ruangan, sebagai penanda Rukun Islam ada lima,
ditopang empat tiang beton didalam ruangan berdiameter sekitar 1 meter
yang menggambarkan Gurindam Dua Belas yang dinyatakan Raja Ali Haji,
"Barang siapa mengenal yang empat, maka dia itulah orang yang ma`rifat".
Empat tiang tersebut juga menandakan Islam mempunyai empat Mazhab,
yaitu Hambali, Maliki, Syafii dan Hanafi.
Corak
bagian dalam 13 kubah tersebut juga memiliki corak dan variasi yang
berbeda satu sama lainnya, ada yang berbentuk bulat, segi tiga, segi
lima, segi empat dengan lonjong keatas, yang menurut sejarahnya
diartikan sebagai sholat lima waktu memiliki jumlah rakaat yang berbeda.
peninggalan
sejarah yang ada di masjid tersebut berupa Mimbar untuk Khatib dalam
Sholat Juma`t yang didatangkan dari Demak dibuat tahun 1832, berupa kayu
jati ukiran Jepara dan masih difungsikan sampai sekarang untuk Khatib
Sholat Jum`at dan hari raya. Mimbar ini dipesan deari Jepara, Jawa
Tengah, sebanyak dua mimbar. Satu mimbar diletakkan di Mesjid Sultan di
Pulau Penyengat, sedangkan mimbar lain yang berukuran lebih kecil,
diletakkan pada mesjid di Daik. Sementara lampu kristal hadiah dari
Kerajaan Prusia (Jerman) pada tahun 1860-an masih terpasang di salah
satu bagian kubah masjid.
Pasir Mekah
Di
dekat mimbar Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat ini disimpan sepiring
pasir yang berasal dari Makkah al-Mukarramah, dibawa oleh Raja Ahmad
Engku Haji Tua bangsawan Riau pertama mengerjakan haji tahun 1820-an.
Pasir tersebut senantiasa digunakan masyarakat dalam upacara jejak
tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi
kanak-kanak.
Masjid
Indonesia pertama yang memakai kubah Dalam dua kali pameran mesjid pada
Festival Istiqlal di Jakarta (1991-1995) disebutkan bahwa Mesjid Sultan
Riau Pulau Penyengat ini merupakan mesjid pertama di Indonesia yang
memakai kubah.
Tradisi Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat
Masjid
Raya Sultan Riau Pulau Penyengat memiliki tradisi unik dalam
memperingatai hari-hari besar Islam, seperti tahun baru Islam setiap
tanggal 1 Muharram yang ditandai dengan berkeliling kampung selama tiga
hari pada malam hari dengan Ratib Saman. Tujuannya untuk pembersihan
kampung dari hal-hal yang tidak baik, seperti mengazankan tempat-tempat
yang dianggap angker.
Pada
Maulid Nabi Muhammad SAW juga berkeliling kampung sebelum membacakan
Kitab Al-Barzanji di Masjid. Selain itu juga pembacaan hikayat Isra
Mi`raj Nabi Muhammad S.A.W saat peringatan Isra Mi`raj. Beberapa hari
sebelum datang bulan Ramdhan setiap tahun juga dilakukan `Kenduri Jamak`
yang diikuti seluruh warga Penyengat dan warga lainnya di Masjid Sultan
Riau.
Cagar Budaya
Masjid
Raya Sultan Riau atau Masjid Raya Penyengat, ditetapkan pemerintah
sebagai benda cagar budaya bersama 16 situs sejarah lainnya di Pulau
milik Engku Putri itu. Pemerintah bersama warga Pulau Penyengat tetap
berusaha melestarikan peninggalan sejarah Kerjaan Riau-Lingga di pulau
itu.
Pelestarian
benda-benda cagar budaya di Pulau Penyengat dibawah pengawasan Pemkot
Tanjungpinang, provinsi Kepulauan Riau, Kementerian Kebudyaan dan
Pariwisata, serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3)
Batusangkar, Sumatra Barat dan Balai Arkeologi Medan.
Tujuan Wisata Rohani
Masjid
Sultan Riau Pulau Penyengat senantiasa menarik perhatian para
pengunjung dari berbagai daerah, terutama di bulan suci Ramadhan.
Pengunjung dari berbagai daerah Indonesia serta dari manca negara
terutama dari Singapura dan Malaysia berdatangan ke masjid ini. Selain
untuk melakanakan sholat juga untuk menikmati keindahan masjid tua ini.